Minggu, 12 Juli 2009

Propaganda "Lintas Agama" yang Kian Canggih

Oleh: Dr. Adian Husaini
Huntington tampaknya tidak bohong dalam hal yang satu ini. Bahwa, setelah peristiwa 11 September 2001, AS sangat serius dalam ”menggarap” Islam. Dalam bukunya, Who Are We?: The Challenges to America’s National Identity” (New York: Simon&Schuster, 2004), Huntington menulis: “The rhetoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam.” Jadi, menurut Huntington, perang ideologis AS dengan kaum komunis militan, kini telah digantikan dengan perang agama dan perang budaya dengan Islam militan.

Meskipun secara formal, banyak pejabat AS yang menyangkal kebenaran pendapat Huntington, tetapi fakta di lapangan menunjukkan, memang kebijakan luar negeri AS kini banyak diarahkan pada upaya ”penjinakan Islam”. Dalam sejarah kolonialisme dan orientalisme, ini memang bukan hal yang baru. Di Indonesia, upaya untuk menciptakan kelompok yang ”ter-Barat-kan” di kalangan kaum pribumi, telah dilakukan oleh penjajah Belanda. Kelompok inilah yang secara aktif membendung aspirasi Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan cara ini, tentu ”sang Tuan” tidak perlu capek-capek lagi menghadapi umat Islam.

Kini, di era imperialisme modern, tampak program keagamaan AS semakin jauh memasuki area-area yang sangat personal dari kaum Muslim, yakni urusan pemahaman dan keyakinan agamanya. Seriusnya AS dalam pengembangan dan penyebaran Pluralisme Agama di Indonesia bisa menjadi salah satu indikator penting, bagaimana seriusnya program penggerusan keyakinan umat beragama, khususnya Islam.

Untuk menyimak usaha tersebut, simaklah aktivitas salah satu pusat kegiatan penyebaran paham lintas agama yang bernama Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) di UGM Yogyakarta. Program ini diakui sebagai bagian dari misi diplomatik AS di Indonesia. Ini bisa dibaca pada Laporan Kebebasan Beragama tahun 2007 yang dibuat oleh Keduataan AS di Jakarta. [http://www.usembassyjakarta.org/bhs/Laporan/Laporan_Kebebasan_Beragama_2007):



”Misi diplomatik AS terus mendanai Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. CRCS bekerja bersama Radio Republik Indonesia dalam pembuatan acara bincang-bincang dua bulanan yang mengangkat masalah kebebasan beragama, toleransi, dan demokrasi. Selain siaran radio langsung, program tersebut ditayangkan di TVRI Yogyakarta, yang memungkinkan dilakukannya penyebaran ide-ide ini kepada masyarakat di Yogyakarta dan daerah sekitar di Jawa Tengah. Isi program tersebut diterbitkan dalam surat kabar setempat… Misi diplomatik AS juga mendukung program seminar kampus yang bertujuan memperkuatkan pendukung pluralisme di kampus-kampus Islam dan menguatkan pemahaman tentang kebebasan beragama, toleransi, pluralisme, dan kesetaraan jender. Diskusi-diskusi publik diadakan di beberapa kampus di Jakarta, Serang, Rangkasbitung, Yogayakrta, Surabaya, Mataram, dan Medan bekerjasama dengan berbagai universitas Islam dan universitas negeri seperti Universitas Gajah Mada dan Universitas Sumatera Utara. Lebih dari 1.500 pelajar dengan berbagai latar belakang dan 50 pembicara nasional dan daerah dilibatkan dalam diskusi-diskusi tersebut.”



Begitulah program keislaman AS. Adalah menarik, bahwa sebagai satu program studi agama tingkat S-2 di UGM, CRCS juga aktif menyebarkan paham-pahamnya ke tengah masyarakat. Melihat berbagai aktivitasnya, tampak CRCS bukan sekedar lembaga studi biasa. Dia mempunyai misi besar merombak pemikiran keagamaan masyarakat Indonesia, khususnya kaum Muslim, sehingga sejalan dengan pemahaman yang dikehendaki oleh sang pemilik dana.

Sebagai contoh, dalam rangka menjalankan misinya tersebut, pada 19 Februari 2009 lalu, CRCS menggelar acara bedah buku berjudul When Mystic Masters Meet: Paradigma Baru dalam Relasi Umat Kristiani-Muslim karya Dr. Syafa’atun Almirzanah, dosen UIN Yogyakarta. Buku ini merupakan disertasi doktor penulis di Chicago University. Karena dianggap begitu penting dalam penyebaran paham Pluralisme Agama di Indonesia, maka acara bedah buku semacam ini juga diselenggarakan di berbagai kota.

Buku ini memang tampak canggih. Maklum, selain penulisnya maraih gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) di Chicago University, ia juga meraih gelar Doctor of Ministry (D.Min) di Catholic Theological Union of Chicago. Ia membandingkan pemikiran dua pemikir terkenal dalam sejarah Islam dan Katolik, yaitu Ibn Arabi dengan Meister Eckhart. Tapi, jika ditelaah dengan cermat, perspektif yang digunakan dalam penulisan buku ini adalah filsafat perenial dan gagasan Kesatuan Transendensi Agama-agama (Trancendent Unity of Religion). Penulisnya menolak pemahaman kaum Muslimin pada umumnya, bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw berfungsi menghapus (abrogate) agama-agama wahyu sebelumnya. Ditulis dalam bukunya:



”Kebanyakan pemahaman Muslim kontemporer mengenai keanekaragaman agama berdasar pada ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan tradisi agama-agama selain Islam. Berbeda dengan kebanyakan Muslim lain yang percaya bahwa ayat-ayat eksklusif tertentu dalam Al-Quran menghapus (naskh) ayat-ayat inklusif tertentu di dalamnya – sehingga mempunyai kesimpulan yang menegaskan bahwa Islam menghapus agama-agama yang ada sebelumnya – Ibn Arabi tidak mempunyai kesimpulan yang demikian.”

Seperti dilakukan oleh sejumlah kaum liberal di Indonesia, penulis buku ini juga tampak mencari legitimasi bagi paham Pluralisme Agama pada pemikiran dan sosok klasik dalam Islam. Dalam buku ini, yang dijadikan sebagai sasaran adalah sosok Ibn Arabi (w. 638 H/ 1240 M), yang memang sejumlah pemikirannya menjadi kontroversi di kalangan para ulama. Oleh kaum liberal, sosok Ibn Arabi dipaksakan sebagai sosok yang mendukung gagasan pebenaran semua agama dan menolak konsep Islam sebagai agama yang menghapus agama-agama Nabi sebelumnya.

Dr. Syafa’atun Almirzanah, penulis buku ini, memang dikenal sebagai aktivis Interfidei, salah satu organisasi lintas agama di Yogyakarta. Tampaknya, visinya sebagai aktivis lintas agama, mendorongnya untuk mengais-ngais khazanah klasik – dalam tradisi Islam dan Katolik – sebagai bahan legitimasi adanya “titik temu” pada level esoteris antar berbagai agama. Dalam bukunya, ia menjadikan sejumlah karya William C. Chittick, seperti Imaginal World: Ibn al-‘Arabi and the Problem of Religious Diversity, sebagai kacamata dalam melihat konsep agama-agama Ibn Arabi.

Padahal, “kaca mata” Chittick itulah yang bermasalah. Chittick sudah berasumsi, Ibn Arabi adalah sosok yang mengakui validitas semua agama. Dr. Syamsuddin Arif, dalam bukunya, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: GIP, 2008), sudah memberikan koreksi terhadap Chittick dalam menjelaskan konsep agama Ibn Arabi. Tanpa menafikan sisi kontroversial Ibn Arabi sendiri, tokoh sufi ini pun tetap menegaskan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang sah di dalam pandangan Allah SWT. Setelah Nabi Muhammad saw diutus, maka pengikut agama-agama para Nabi sebelumnya, wajib beriman kepada Nabi Muhammad saw dan mengikuti syariatnya. Sebab, dengan kedatangan sang Nabi terakhir, maka syariat agama-agama sebelumnya otomatis tidak berlaku lagi. “Fa inna syari‘ata Muhammadin shallallahu alayhi wa sallama nasikhah,” tulis Ibn Arabi.

Dr. Mohd. Sani bin Badrun, salah seorang cendekiawan alumnus ISTAC-IIUM Kuala Lumpur, selama belasan tahun telah meneliti konsep-konsep keagamaan dan konsep Tuhan Ibn Arabi. Dia menulis tesis master dan disertasi doktor tentang Ibn Arabi. Tahun 1998, dia menyelesaikan tesis masternya berjudul “Ibn al-‘Arabi’s Conception of Religion”. Ibn Arabi berpendapat, bahwa syariat para Nabi terikat dengan periode tertentu, yang akhirnya terhapuskan oleh syariat Nabi sesudahnya. Hanya Al-Quran, menurutnya, yang tidak terhapuskan. Bahkan Al-Quran menghapuskan syariat yang diajarkan oleh Kitab-kitab sebelumnya. Karena itu, syariat yang berlaku bagi masyarakat, adalah syariat yang dibawa oleh Nabi terakhir.

Salah satu kesimpulan penting dari teori agama-agama Ibn Arabi yang diteliti oleh Dr. Mohd. Sani bin Badrun adalah: “Kaum Yahudi wajib mengimani kenabian Isa a.s. dan Muhammad saw. Kaum Kristen juga wajib beriman kepada kenabian Muhammad saw dan Al-Quran. Jika mereka menolaknya, maka mereka menjadi kafir.” Bahkan, Ibn Arabi pun berpendapat, para pemuka Yahudi dan Kristen sebenarnya telah mengetahui kebenaran Muhammad saw, tetapi mereka tidak mau mengimaninya karena berbagai faktor, seperti karena kesombongan dan kedengkian.

Fakta-fakta pendapat Ibn Arabi seperti ini sama sekali tidak muncul dalam disertasi doktor yang dipuji-puji oleh Dr. Haidar Bagir, sebagai karya yang sangat akademis, mendalam dan memikat, dan merupakan sumbangan yang tak ternilai bagi dialog antaragama. Bahkan, rektor UIN Jakarta, Prof. Komaruddin Hidayat, menulis: “Buku ini hadir tepat waktu dan penulis dengan sangat brilian menghadirkan dua ikon pemikir mistik Barat dan Timur, Kristen dan Muslim, saat agama diseret-seret dalam konflik perebutan hegemoni politik dan ekonomi sehingga wajah agama menjadi bengis.”

Kita bisa membandingkan kedalaman bahasan antara tesis Dr. Mohd. Sani Badrun dengan karya Dr. Syafaatun yang banyak merujuk sumber-sumber sekunder, terutama pada karya-karya William Chittick. Sama dengan Chittick, Syafaatun juga memaksakan visi Pluralisme dan Inklusifnya dalam memandang karya Ibn Arabi. Sebagai contoh, kutipan dari Kitab Futuhat Makkiyah yang diambil dari buku Chittick berikut ini:



”Semua agama wahyu (shara’i) adalah cahaya. Di antara agama-agama ini, agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad adalah seperti cahaya matahari di antara cahaya bintang-bintang lain. Ketika matahari muncul, cahaya bintang-bintang lain akan tersembunyi dan cahaya tercakup dalam cahaya matahari. Kondisi sebagai tersembunyi adalah seperti penghapusan agama-agama lain dengan hadirnya agama yang diwahyukan kepada Muhammad. Sekalipun demikian, hal itu sebenarnya tetap eksis, sebagaimana eksisnya cahaya bintang. Hal ini menjelaskan mengapa dalam agama inklusif kita diwajibkan untuk percaya pada kebenaran semua rasul dan semua agama yang diwahyukan. Semua agama tersebut tidak menjadi tertolak (batil) dengan adanya penghapusan (nasakh) – Itu adalah pendapat orang bodoh.”



Dalam bukunya, Imaginal World: Ibn al-‘Arabi and the Problem of Religious Diversity, Chittick memang menulis, “The Syaykh sometimes criticizes specific distortion or misunderstanding in the Koranic vein, but he does not draw the conclusion that many Muslims have drawn – that the coming of Islam abrogated (naskh) previous revealed religions. Rather, he says, Islam is like the sun and other religions like the stars…Concerning abrogation, the Syaykh writes, “All the revealed religions (sharāi’) are lights. Among these religions, the revealed religion of Muhammad is like the light of the sun among lights of the stars…”

Jadi, kesimpulan penulis buku When Mystic Masters Meet, bahwa Islam tidak menghapus agama-agama sebelumnya, memang diambil dari buku Chittick, dan bukan pemahaman langsung dari karya-karya Ibn Arabi sendiri. Cendekiawan Muslim terkenal asal Eropa, Noh Ha Mim Keller, juga pernah secara khusus mengkritisi cara pengutipan dan pemahaman karya Ibn Arabi oleh Chittick. Ia membuat terjemah yang lebih tepat terhadap bagian Futuhat yang dikutip Chittick: “The religious law (sharāi’) are all lights, and the law of Muhammad (Allah bless him and given him peace) among these lights is as the sun’s light among the light of the stars: if the sun comes out, the light of the stars are no longer seen and their lights are absorbed into the light of the sun: the disappearance of their light resembles what, of religious laws, has been abrogated (nusikha) by his law… if the prophetic messengers had been alive in his time, they would have followed him just as their religious laws have followed his law” (dikutip dari tesis Dr. Mohd Sani bin Badrun).

Jadi, di sini, sebenarnya Ibn Arabi bicara tentang syariat para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Bukan tentang agama wahyu secara keseluruhan. Tampak jelas, bagaimana ketidakakuratan kutipan Chittick yang kemudian juga diikuti oleh Syafaatun. Padahal, kalimat terakhir pada kutipan di atas bermakna: “andaikata para nabi hidup di zaman Nabi Muhammad saw, mereka akan mengikuti Nabi Muhammad sebagaimana hukum-hukum agama mereka juga mengikuti hukum yang dibawa Nabi Muhammad.” Ini maknanya, ada abrogasi (penghapusan) dalam soal hukum. Tetapi tidak dalam soal aqidah, karena semua Nabi sama-sama mengajarkan Tauhid.

Bahkan, hasil penelitian Dr. Sani pun menunjukkan, menurut Ibn Arabi, agama apa pun yang masih eksis, yang tidak mengimani kenabian Muhammad saw, maka tidak dapat dikatakan sebagai “agama wahyu” (revealed religion). Ia juga memberikan kritik keras terhadap kaum Yahudi yang menuduh Maryam tidak suci dan Yesus sebagai anak zina. Ibn Arabi juga mengkritik keras paham trinitas kaum Kristen dan berbagai penyimpangan yang telah terjadi dalam kitab-kitab sebelum Al-Quran.

Adalah menarik menelusuri upaya sistematis dalam pembacaan karya-karya Ibn Arabi yang dilakukan oleh kaum Transendentalis. Menurut aliran ini, kaum Muslim dibagi menjadi dua: eksklusifis dan inklusifis. Yang terakhir, mengakui adanya kesatuan esoteris (dimensi batin) pada semua agama. Kaum sufi, menurut mereka, adalah kaum inklusifis. Kesalahan awal tentang ini muncul dari hasil penelitian tentang Ibn Arabi yang dilakukan Abu al-A’la al-Afidi, yang menyimpulkan bahwa agama Ibn Arabi adalah “agama universal” bukan Islam dalam bentuknya yang khusus.

Upaya memasukkan Ibn Arabi ke dalam barisan Transendentalis kemudian datang dari para pengkaji kesufian dari Barat, seperti Renė Guėnon (d. 1951), Ananda Coomaraswamy (d. 1947), Titus Burckhard, Marco Pallis, Martin Lings, dan khususnya Frithof Schuon (lahir 1907). Tetapi, menurut Dr. Sani, kekacauan terbesar soal pemikiran keagamaan Ibn Arabi muncul dari karya William Chittick, Imaginal World: Ibn al-‘Arabi and the Problem of Religious Diversity. Banyak yang kemudian mengikuti secara membabi buta cara pembacaan Chittick terhadap Ibn Arabi.

Kasus disertasi doktor dosen UIN Yogya – yang disebarluaskan oleh berbagai institusi pendukung Pluralisme Agama -- ini lagi-lagi membuktikan adanya upaya yang sistematis dan sungguh-sungguh untuk merusak pemikiran kaum Muslim Indonesia. Mungkin penulisnya memang khilaf, tidak tahu, bahwa yang ditulisnya adalah salah. Setelah diberitahu, seyogyanya, dia menyadari kekeliruannya. Mungkin dia memang sengaja untuk melakukan hal itu, dan mendorong manusia untuk mengikuti jalan pikiran dan aktivitasnya. Allah Maha Tahu akan niat dan tujuan perbuatan tiap orang.

Kita kadang terheran-heran dengan kaum Pluralis. Mereka sering mengecam orang-orang yang meyakini kebenaran agamanya sendiri. Tapi, kita sering melihat, mereka pun begitu ngotot dengan pendapatnya sendiri, menutup rapat-rapat mata dan telinga dari berbagai kritik, dan kemudian bahkan memaksa orang lain untuk mengikutinya. (Jakarta, 6 Maret 2009/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

SISTEM PENDIDIKAN ISLAM

Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Sementara dalam urusan sosial kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan. Oleh karena itu, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi, lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama, salah satunya adalah paradigma pendidikan yang materialistik.

Telah terbukti bahwa sistem pendidikan yang materialistik telah gagal melahirkan manusia yang shaleh yang sekaligus menguasai iptek. Misalnya di Indonesia, secara formal kelembagaan, sekulerisasi pendidikan ini telah dimulai sejak adanya dua kurikulum pendidikan keluaran dua departamen yang berbeda, yakni Depag dan Depkidbud. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tidak tersentuh oleh standar nilai agama.

Pendidikan materialistik memberikan kepada siswa suatu basis pemikiran yang serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat non-materi. Bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam oleh orang tua siswa. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi.

Sistem Pendidikan Islam

Dalam konteks individu, pendidikan termasuk salah satu kebutuhan asasi manusia. Sebab, ia menjadi jalan yang lazim untuk memperoleh pengetahuan atau ilmu. Sedangkan ilmu akan menjadi unsur utama penopang kehidupannya. Oleh karena itu, Islam tidak saja mewajibkan manusia untuk menuntut ilmu, bahkan memberi dorongan serta arahan agar dengan ilmu itu manusia dapat menemukan kebenaran hakiki dan mendayagunakan ilmunya di atas jalan kebenaran itu. Rasulullah Saw bersabda, “Tuntutlah oleh kalian akan ilmu pengetahuan, sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah azza wa jalla, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah shodaqoh. Sesungguhnya ilmu itu akan menempatkan pemiliknya pada kedudukan tinggi lagi mulia. Ilmu adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan akhirat.” [HR. ar-Rabî’].

Makna hadits tersebut sejalan dengan firman Allah SWT: “Allah niscaya mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan mereka yang berilmu pengetahuan bertingkat derajat. Dan Allah Maha mengetahui terhadap apa yang kamu lakukan.” (Qs. al-Mujadalah: 11).

Asas Pendidikan Islam

Asas pendidikan adalah aqidah Islam. Aqidah menjadi dasar kurikulum (mata ajaran dan metode pengajaran) yang diberlakukan oleh negara. Aqidah Islam berkonsekuensi ketaatan pada syari’at Islam. Ini berarti tujuan, pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum harus terkait dengan ketaatan pada syari’at Islam. Pendidikan dianggap tidak berhasil apabila tidak menghasilkan keterikatan pada syari’at Islam pada peserta didik, walaupun mungkin membuat peserta didik menguasai ilmu pengetahuan.

Aqidah Islam menjadi asas dari ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti semua ilmu pengetahuan yang dikembangkan harus bersumber pada akidah Islam, karena memang tidak semua ilmu pengetahuan lahir dari akidah Islam. Yang dimaksud adalah, aqidah Islam harus dijadikan standar penilaian. Ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan aqidah Islam tidak boleh dikembangkan dan diajarkan, kecuali untuk dijelaskan kesalahannya.

Tujuan Pendidikan Islam

Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter, yakni: Pertama, berkepribadian Islam. Ini sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir (‘aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada aqidah Islam.

Untuk mengembangkan kepribadian Islam, paling tidak, ada tiga langkah yang harus ditempuh, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw, yaitu:
1. Menanamkan aqidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori aqidah tersebut, yaitu sebagai ‘aqîdah ‘aqliyyah; aqidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam.
2. Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah memiliki aqidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas pondasi aqidah yang diyakininya.
3. Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyyah dan mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT.

Kedua, menguasai tsaqâfah Islam. Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu:
1. Ilmu yang termasuk fardhu ‘ain (kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi Saw, ulumul Qur’an, tahfizh al-Qur’an, ulumul hadis, ushul fiqh, dll.
2. Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.

Ketiga, menguasai ilmu kehidupan (IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu jika ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll.

Keempat, memiliki keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT.

Sebagaimana penguasaan IPTEK, Islam juga menjadikan penguasaan keterampilan sebagai fardhu kifayah, yaitu jika keterampilan tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri, penerbangan, pertukangan, dan lainnya.

Sistem Pendidikan Islam Yang Terpadu

Agar keluaran pendidikan menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat sebuah sistem pendidikan yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja. Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul.

Dalam hal ini, minimal ada 3 hal yang harus menjadi perhatian. Pertama, sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan. Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping masing-masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar.

Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba, dan sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi jika pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.

Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya.

Selain muatan penunjang proses pembentukan kepribadian Islam yang secara terus-menerus diberikan mulai dari tingkat TK hingga PT, muatan tsaqâfah Islam dan Ilmu Kehidupan (IPTEK, keahlian, dan keterampilan) diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.

Pada tingkat dasar atau menjelang usia balig (TK dan SD), penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya.

Khalifah Umar bin al-Khaththab, dalam wasiat yang dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya, menuliskan, “Sesudah itu, ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan menunggang kuda, dan ceritakan kepada mereka adab sopan-santun dan syair-syair yang baik.”

Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalb, guru anaknya, “Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku. Saya mempercayaimu untuk mengajarnya. Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah amanah. Pertama, saya mewasiatkan kepadamu agar engkau mengajarkan kepadanya al-Qur’an, kemudian hapalkan kepadanya al-Quran…”

Di tingkat Perguruan Tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme, misalnya, dapat diperkenalkan kepada kaum Muslim setelah mereka memahami Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan dan dipahami cacat-celanya serta ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.

Ketiga, berorientasi pada pembentukan tsaqâfah Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga hal di atas merupakan target yang harus dicapai. Dalam implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan bagi pelaksanaan pendidikan.

Pendidikan Bagi Warga Negara Ahlu Dzimmi (Non-Muslim)

Warga negara non-Muslim mendapatkan pendidikan yang sama sebagaimana warga negara yang Muslim. Mereka mempelajari ajaran agama mereka di keluarga-keluarga mereka dan komunitas mereka, misalnya di sekolah-sekolah Minggu di gereja-gereja, kelas-kelas pelajaran tentang Yahudi, pengajaran di kuil-kuil, dan lain-lain. Mereka mengadakan sendiri pengajaran agama bagi anak-anak mereka, negara tidak campur tangan dalam hal itu. Mereka juga bisa saja diizinkan membuka sekolah khusus untuk anak-anak mereka, selama mereka tetap menjalankan kurikulum yang ditentukan negara, dan tetap dalam kontrol negara. Anak-anak mereka akan mengenal bagaimana ajaran aqidah Islam dan bagaimana ibadah mahdhah-nya seorang Muslim walau mereka tidak meyakini dan melaksanakannya. Mereka mengenal hukum-hukum muamalat Islam karena mereka harus melaksanakannya dalam kehidupan umum di masyarakat. (Tim Redaksi dari berbagai sumber).

Majalah Al Hijrah diterbitkan oleh Centre for Islamic Dakwah & Education (CIDE), New South Wales, Australia

Merombak Kurikulum Demi Kesetaraan Gender

Salah satu proyek favorit dalam liberalisasi Islam adalah penyebarluasan paham kesetaraan gender di tengah masyarakat Muslim. Proyek ini banyak sekali mendapatkan bantuan dari negara-negara Barat. Biasanya, proyek ini berlindung di balik jargon ”meningkatkan martabat wanita”. Sebagai contoh, simaklah salah satu program politik luar negeri AS di Indonesia: ”Amerika Serikat juga memberikan pendanaan kepada berbagai organisasi Muslim dan pesantren untuk mengangkat persamaan jender dan anak perempuan dengan memperkuat pengertian tentang nilai-nilai tersebut di antara para pemimpin perempuan masyarakat dan membantu demokratisasi serta kesadaran jender di pesantren melalui pemberdayaan pemimpin pesantren laki-laki dan perempuan.” (lihat:http://www.usembassyjakarta.org/bhs/Laporan/indonesia_Laporan_deplu-AS.html

Disamping AS, negara-negara Barat lainnya, seperti Kanada, Australia, dan sebagainya, juga aktif membantu pendanaan proyek-proyek gender di Indonesia. Dengan proyek gender itulah, katanya, mereka bermaksud memajukan kaum wanita di Indonesia. Karena dananya begitu melimpah, maka tidak mengherankan, jika proyek gender ini banyak mendapatkan peminat. Ada gula ada semut. Ada uang ada proyek. Jika mau dapat uang cepat, ambil saja proyek kesetaraan gender.

Tidak dapat dipungkiri, memang banyak kaum wanita yang tertinggal. Banyak wanita yang menderita. Banyak wanita yang tertindas. Banyak wanita yang kurang berpendidikan. Maka, wajar jika kita menduga, tuan-tuan dari negara-negara Barat yang katanya terhormat dan menghormati tradisi umat lain, akan menghormati ajaran dan tradisi keagamaan umat Islam. Kita mengandaikan, mereka mengenal konsep amal jariyah. Uang ratusan milyar rupiah mereka kucurkan untuk proyek-proyek gender, dengan tujuan mengangkat derajat kaum wanita Indonesia. Wanita yang tidak mampu sekolah, berikanlah beasiswa kepada mereka, tanpa harus mengubah pandangan hidup dan keyakinan mereka terhadap agamanya.

Ternyata, apa yang kita bayangkan tentang Tuan-tuan dari negara Barat itu tidak berbeda dengan kaum misionaris yang membagi-bagi makanan kepada kaum Muslim dengan misi perubahan agama. Dalam soal gender, hal yang serupa juga terjadi. Sebagian kaum Muslim, terutama yang kebagian jatah proyek gender, mengeruk keuntungan duniawi, meskipun jelas-jelas disertai dengan misi mengubah keyakinan dan persepsi wanita muslimah terhadap ajaran agamanya sendiri.

Yang dilakukan oleh para penyebar proyek gender ini adalah perusakan pemikiran, satu bentuk orientalisme modern dan penjajahan pemikiran. Bahkan, bisa dikatakan, misi ini jauh lebih kotor ketimbang kaum misionaris yang secara terang-terangan membawa misi perubahan agama. Misi gender ini juga lebih mengerikan, karena dilakukan oleh sarjana-sarjana agama, bahkan terkadang membawa bendera organisasi atau lembaga pendidikan Islam tertentu.

Salah satu lembaga yang aktif menyebarkan misi gender ini adalah UIN Yogya, melalui lembaga Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Yogya. Dengan dukungan dari proyek ”IAIN Indonesia Social Equity Project” (IISEP), yang didanai oleh pemerintah Kanada, PSW UIN Yogya menerbitkan sejumlah buku tentang proyek kesetaraan gender. Sasaran dari proyek ini bukan hanya pada tingkat Perguruan Tinggi, tetapi juga pendidikan dasar dan menengah. Salah satu program lembaga ini adalah menyusun kurikulum pendidikan yang berwawasan gender. Karena itulaah, lembaga ini sibuk meneliti buku-buku di sekolah-sekolah dasar dan menengah yang dinilai masih bias gender dan perlu digantikan dengan kurikulum yang tidak bias gender.

Tahun 2004, PSW UIN Yogya menerbitkan sebuah buku berjudul Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah. Melalui buku ini, kita bisa melihat dengan jelas, apa sebenarnya isi kepala para dosen dan peneliti di UIN Yogya, sehingga mereka begitu menggebu-gebu untuk merombak kurikulum pendidikan yang dinilai masih bias gender.

Sebagaimana biasa, sebelum melakukan perombakan konsep-konsep dan hukum-hukum Islam, kaum liberal mendahuluinya dengan menempatkan posisi nash al-Quran sebagai teks sejarah dan produk budaya. Karena itulah, tafsir yang digunakan pun adalah hermeneutika yang berujung pada relativisme nilai. Mengawali pembahasan tentang isu-isu gender, buku ini memaparkan konsep relativisme Tafsir:

”Teks-teks keagamaan bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan terlepas dari konteksnya. Oleh karena itu, ia juga tidak bisa dipahami, kecuali dalam relasinya dengan entitas lainnya. Pada tataran inilah pentingnya kita melihat kembali teks dan pemahaman serta penafsirannya secara epistemologis dan hermeneutis. Bila ini sudah dilakukan, maka penafsiran dan pemahaman ulang terhadap al-Quran dan hadis, terasa bukan sebagai sesuatu yang tidak normal, tapi malah sebagai keniscayaan. Mengapa menjadi niscaya, karena pola pemahaman keagamaan itu melibatkan dimensi kreatif manusia, maka tidak ada yang ”tabu” dalam pemahaman keagamaan untuk ditelaah ulang, karena siapa tahu jika yang selama ini kita anggap sebagai kebenaran dogma agama itu – dalam istilah Peter L. Berger dan Luckmann – adalah sesuatu yang bersifat socially constructed belaka.” (hal. 2)



Karena percaya pada relativitas pemahaman manusia, maka bagi dosen-dosen dan peneliti di PSW-UIN Yogya, tidak ada konsep atau hukum Islam yang bersifat tetap. Semua bisa berubah. Mereka berprinsip bahwa pemahaman hukum-hukum Islam adalah produk pemikiran para ulama yang berlatarbelakang kondisi sosial tertentu, sehingga hukum atau pemikiran itu hanyalah suatu ”konstruk sosial” tertentu. Mereka menolak universalitas hukum Islam. Hukum-hukum Islam yang memberikan perbedaan antara laki-laki dan wanita dalam berbagai aspek kehidupan mereka pandang sebagai produk budaya tertentu.



Di sinilah letak kelucuan pola pikir kaum gender ini. Mereka menolak universalitas hukum Islam, tetapi pada saat yang sama, mereka menjadikan konsep ”kesetaraan gender” ala Barat sebagai pemahaman yang universal, abadi, dan tidak berubah. Padahal, konsep kesetaraan gender itu juga merupakan produk sosial dan budaya masyarakat Barat. Karena itu, logisnya, konsep ini juga bersifat lokal, dan tidak bisa dipaksakan kepada semua umat manusia.



Masyarakat Barat di masa Yunani Kuno dan menurut ajaran Kristen tidak menerima konsep ”kesetaraan gender” ala Barat modern sekarang ini. Sesuai dengan prinsip relativisme dan evolusi nilai, maka konsep wanita di Barat juga mengalami dinamika sepanjang sejarahnya. Di zaman Yunani Kuno – cikal bakal peradaban Barat -- misalnya, wanita terhormat justru tidak keluar rumah, kecuali karena alasan yang sangat penting. Nikolaos A. Vrissimtzis, dalam bukunya, Love, Sex, and Marriage in Ancient Greece, menulis: “Sebuah kehormatan jika wanita selalu berada di dalam rumah. Berada di jalan adalah sesuatu yang tidak berguna.” Pada abad ke-6 SM, perkawinan dianggap sah jika memenuhi sejumlah syarat: engyesis (mahar), perjanjian antara calon suami dengan ayah mempelai wanita, serta ekdosis (penyerahan mempelai wanita kepada keluarga mempelai laki-laki). (Lihat, Nikolaos A. Vrissimtzis, Erotisme Yunani (Terj. oleh Shofa Ihsan), (Bekasi: Menara, 2006)).



Tapi, para pengusung dan pengasong paham kesetaraan gender ini seperti tidak mau tahu. Mereka memandang hukum-hukum Islam yang membeda-bedakan antara laki-laki dan wanita perlu ditinjau kembali, karena hal itu termasuk dalam kategori ”bias gender”. Seperti kaum sedang ”kerasukan” setan, buku Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah ini membongkar ajaran-ajaran Islam yang sudah final dan selama ini sudah diterima oleh kaum Muslimin sebagai satu Ijma’ dari generasi ke generasi.



Hampir tidak ada aspek hukum yang luput dari gugatan kaum aktivis gender dari UIN Yogya. Dalam aspek ibadah misalnya, dipersoalkan: mengapa azan harus dilakukan oleh laki-laki; mengapa wanita tidak boleh menjadi imam shalat bagi laki-laki; mengapa dibedakan cara mengingatkan imam yang salah bagi makmum laki-laki dan makmum wanita; mengapa shaf wanita harus di belakang; mengapa imam dan khatib shalat Jumat harus laki-laki.

Masih dalam aspek ibadah, digugat juga persoalan pembedaan jumlah kambing aqidah bagi anak laki-laki dan wanita. Dalam masalah haji, digugat keharusan wanita ditemani oleh mahramnya, sedangkan laki-laki tidak. Juga, dipersoalkan pembedaan pakaian ihram bagi jamaah haji laki-laki dan wanita. Dalam urusan rumah tangga, digugat keharusan istri untuk meminta izin suami jika hendak keluar rumah. Dalam masalah pernikahan, misalnya, digugat juga ketiadaan hak talak bagi wanita. ”Talak seharusnya merupakan hak suami dan istri, artinya kalau memang suami berbuat salah (selingkuh), istri punya hak mentalak suami.” (hal. 175). Tak hanya itu, buku ini juga menggugat tugas seorang Ibu untuk menyusui dan mengasuh anak-anaknya. Ditulis dalam buku ini:

”Seorang Ibu hanya wajib melakukan hal-hal yang sifatnya kodrati seperti mengandung dan melahirkan. Sedangkan hal-hal yang bersifat diluar qodrati itu dapat dilakukan oleh seorang Bapak. Seperti mengasuh, menyusui (dapat diganti dengan botol), membimbing, merawat dan membesarkan, memberi makan dan minum dan menjaga keselamatan keluarga.” (hal. 42-43).

Beginilah cara berpikir kaum gender di lingkungan UIN Yogya. Kita bisa bertanya kepada kaum gender itu, jika menyusui anak bukan tugas wanita, lalu untuk apa Allah mengaruniai wanita dengan sepasang payudara? Bukankah sudah begitu banyak penelitian yang menyebutkan manfaat Air Susu Ibu (ASI) bagi si bayi, bagi si ibu, dan juga bagi hubungan psikologis antara bayi dan ibunya. Tapi, dengan alasan ’kesetaraan gender’, tugas menyusui bagi wanita itu ditolak dan dinyatakan sebagai kewajiban bersama antara bapak dan ibu.

Dengan pola pikir semacam itulah, kaum gender ini menolak syariat Islam dalam bidang pembagian peran antara laki-laki dan wanita. Memang, dalam konsep gender, pembagian peran mereka anggap bukan sesuatu yang kodrati atau hal yang fithri, tetapi mereka pandang sebagai hasil konstruk budaya. Karena itu, mereka menolak kedudukan kaum laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan imam shalat, hanya karena kelelakiannya. Di dalam buku berjudul Pengantar Kajian Gender terbitan PSW-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2003) dikutip sejumlah definisi gender:

”Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinctition) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat. Ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Hillary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex and Gender: An Introduction sebagaimana dikutip Nasaruddin Umar (1999), gender adalah harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men).” (hal. 54).

Para pegiat gender ini biasanya menggugat apa yang mereka sebut sebagai budaya patriarki dalam masyarakat, sebagaimana ditulis dalam buku terbitan PSW-UIN Jakarta: ”Di dalam budaya patriarki ini, bidang-bidang politik, ekonomi, pendidikan, hukum, agama, dan juga di ranah domestik senantiasa dikuasai laki-laki. Sebaliknya, pada waktu yang sama, perempuan terpinggirkan karena perempuan dianggap atau diputuskan tidak layak dan tidak mampu untuk bergelut di bidang-bidang tersebut.” (hal. 60).

Tidaklah berlebihan jika ada yang menelaah, bahwa paham kesetaraan gender sering menggunakan pola pendekatan Marxisme yang menempatkan laki-laki sebagai kaum penindas dan wanita sebagai kaum yang tertindas. Buku terbitan PSW-UIN Yogya secara tegas berusaha memprovokasi kaum wanita agar memiliki kebencian terhadap kaum laki-laki, sebagaimana tertulis pada sampul belakangnya:

”Sudah menjadi keprihatinan bersama bahwa kedudukan kaum perempuan dalam sejarah peradaban dunia, secara umum, dan peradaban Islam, secara khusus, telah dan sedang mengalami penindasan. Mereka tertindas oleh sebuah rezim laki-laki: sebuah rezim yang memproduksi pandangan dan praktik patriarkhisme dunia hingga saat ini. Rezim ini masih terus bertahan hingga kini lantaran ia seakan-akan didukung oleh ayat-ayat suci. Sebab itu, sebuah pembacaan yang mampu mendobrak kemapanan rezim laki-laki ini merupakan kebutuhan yang sangat mendesak saat ini untuk dilakukan.”

Benarkah ada rezim laki-laki yang kini menindas kaum wanita? Ungkapan itu sangatlah berlebihan. Itu adalah fantasi kaum gender yang terasuki perasaan kebencian. Jika ada sejumlah kasus, dimana laki-laki menindas wanita, itu dilakukan bukan karena kelelakiannya, tapi karena kebejatan akhlaknya. Tidak semua laki-laki menindas wanita. Bahkan, banyak kaum laki-laki yang sangat menghormati dan menyayangi wanita. Bahkan, banyak pula wanita yang menindas suaminya. Banyak pula suami yang takut pada istrinya. Banyak juga wanita yang juga kini menjalani hidup bahagia dalam sistem keagamaan yang mereka anut.

Kini, banyak wanita bahagia dapat menyusui anaknya selama dua tahun, karena yakin itu bagian dari ibadahnya kepada Allah. Banyak wanita yang ikhlas menjalankan kewajiban untuk meminta izin dari suaminya ketika keluar rumah. Toh, itu perbuatan yang baik dan menentramkan jiwa. Banyak wanita yang ridho menyediakan minuman bagi suaminya, menjaga dan mendidik anak-anaknya di rumah. Banyak wanita yang ridho dan tidak merasa terzalimi karena shalat di belakang kaum laki-laki. Banyak wanita yang ikhlas tidak diwajibkan shalat Jumat.

Kini, atas nama paham kesetaraan gender, semua konsep itu hendak dibongkar. Wanita muslimah diprovokasi, bahwa wanita tidak harus menyusui anaknya, sebab itu bukan hal yang kodrati. Wanita diminta menuntut hak talak, menuntut persamaan status dalam rumah tangga, dengan menolak kepemimpinan suami. Wanita diajak untuk memberontak kepada laki-laki. Atas nama gender, wanita menolak kewajibannya untuk mengurus rumah tangga. Sebab, laki-laki juga punya kewajiban yang sama.

Selama 1400 tahun lebih, umat Islam memahami, bahwa kaum laki-laki memang diberi amanah oleh Allah untuk menjadi pemimpin rumah tangga. Suami yang baik tentu akan menjalankan amanahnya dengan baik, sebab mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di Hari Kiamat. Semakin banyak amanah yang diemban, semakin berat pula tanggung jawabnya di akhirat. Perspektif akhirat inilah yang sering dilupakan oleh kaum gender.

Pada akhirnya, kita melihat, paham kesetaraan gender yang kini disebarkan secara masif oleh agen-agen feminis di lingkungan Perguruan Tinggi Islam tampak lebih merupakan bentuk ’cultural schock’ (gegar budaya) orang-orang kampung yang silau dengan peradaban Barat modern. Mereka tidak berpikir panjang akan akibatnya bagi keluarga dan masyarakat Muslim. Pada buku-buku mereka, terlihat jelas, mereka begitu rakus menelan konsep-konsep pemikir Barat tanpa sikap kritis. Lebih ironis, jika paham ini disebarkan hanya untuk menjalankan proyek-proyek Barat untuk merusak masyarakat Muslim, melalui kaum wanitanya.

Yang kita heran: Mengapa tidak malu melakukan itu semua? [Depok, 24 November 2008/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Dibalik Maraknya Isu KDRT

by Hilyat Hasan


Di tengah maraknya suasana kampanye dan debat capres cawapres menjelang Pilpres 8 Juli mendatang, beberapa media baik tabloid, majalah, koran dan tidak ketinggalan stasiun televisi juga gencar memberitakan berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) sehingga menjadi sorotan publik. Berawal dari pengakuan Manohara, bahwa ia disiksa suaminya yang notabene putra mahkota kerajaan Kelantan, Malaysia. Kemudian menyusul kasus kekerasan yang menimpa Cici Faramida yang dilakukan oleh sang suami termasuk kekerasan yang dilakukan Jaksa Puji terhadap istrinya Hendri sampai beberapa kasus kekerasan yang menimpa para TKW Indonesia dan beberapa kasus lainnya dalam liputan sekilas
Seiring dengan mencuatnya kembali berbagai kasus KDRT, Para aktivis pembela hak-hak perempuan seperti mendapat angin segar untuk menegaskan asumsi mereka, bahwa penyebab terjadinya berbagai kasus KDRT adalah dikarenakan tiadanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Mereka menegaskan hal ini sebagai akibat adanya budaya patriarki dan ketidakadilan gender. Para aktivis ini menyadari bahwa kekerasan terhadap perempuan tersebut lahir dari sifat struktural antara laki-laki dan perempuan. Ironisnya, aturan Islam dalam keluarga seperti pola relasi antara suami istri maupun kebolehan suami berpoligami juga mereka tuding sebagai pemicu munculnya KDRT. Bahkan mereka melakukan upaya stigmatisasi hukum-hukum Islam melalui tayangan infotainment dan sinetron ‘islami’ yang menggambarkan ‘keburukan poligami’ dan ‘sifat otoriter’ suami sebagai kepala keluarga yang ‘dilegalisasi’ penafsiran ayat Alqur’an dan hadist yang ‘keliru’. Di samping itu, mereka juga mensosialisasikan ide-ide mereka secara terselubung seperti pengakuan terhadap hak reproduksi melalui penyewaan rahim. Benarkah tiadanya keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan merupakan penyebab KDRT? Benarkah Islam memicu terjadinya KDRT? Tentunya hal ini perlu diperjelas agar tidak terjadi kekeliruan dalam memandang suatu persoalan dan mencari solusinya.


Fakta Peningkatan Kasus KDRT

Data Yayasan Mitra (YMP) Perempuan menyebutkan tindak kekerasan terhadap perempuan tahun 2001 terbanyak dilakukan oleh suami (69,26 persen), mantan suami (4,81 persen), kerabat dekat (8,15 persen), dan pasangan atau kekasih (11,11 persen). Kasus kekerasan dan perkosaan juga terkait dengan meningkatnya jumlah remaja putri yang hamil di luar nikah. Dari waktu ke waktu, kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan kasus terbesar yang dialami perempuan dan anak. Menurut YMP, jumlah anak perempuan yang mengalami tindak kekerasan selalu meningkat, yaitu dari 5,4 persen menjadi 6,26 persen. Dari kasus kekerasan terhadap perempuan, 45 persen dialami perempuan yang bekerja di luar rumah, sedangkan 36,29 persen dialami ibu rumah tangga. YMP juga mencatat setiap lima jam sekali terjadi kasus perkosaan di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek). Catatan tahunan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada tahun 2006 mengungkapkan dari 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh 258 lembaga di 32 provinsi, 76 persen atau 16.709 adalah kasus KDRT. Pada kasus KDRT 2006 tersebut, 66 persen adalah kekerasan seksual, terjadi di luar rumah tangga (ranah komunitas), seperti tempat kerja atau permasalahan buruh migran. Berdasarkan wilayah, kasus KDRT paling banyak terjadi di DKI Jakarta, yakni 7.020 kasus dan Jawa Tengah sebanyak 4.878 kasus (Media Indonesia, 8/3/2007). Masalah poligami juga menjadi salah satu persoalan bagi perempuan. Salah satu contohnya bisa kita lihat dalam catatan Pengadilan Agama (PA) Kelas IA Padang, Sumatera Barat. Sebanyak 650 orang lebih perempuan di Kota Padang menjadi janda pada tahun 2008. Angka ini terekap selama periode 1 Januari - 17 November 2008. Jumlah ini juga mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2007 yang hanya mencapai 500 perkara.
Meski sudah ada UU Penghapusan KDRT no. 23 tahun 2004, kenyataannya kasus KDRT tidak berkurang. Nyatanya jumlah KDRT di tahun 2007 mencapai 25.222 dan di tahun 2008 meningkat jadi 54.425 (Komnas Perempuan 2008). Padahal keberadaan udang-undang tersebut bertujuan untuk melindungi hak-hak anggota keluarga dari kekerasan yang mungkin dan akan terjadi di dalam rumah tangga. Selain itu juga bertujuan untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga dimana hal yang terpenting untuk menjaga kerukunan dan keutuhan dari sebuah keluarga adalah bagaimana orang yang ada dalam keluarga tersebut dapat menjaga kualitas pengendalian dirinya terutama emosi yang dapat memunculkan bibit kekerasan jika terlalu dikeluarkan secara berlebihan. Disamping kasus KDRT yang tidak berkurang, UU PKDRT juga dirasakan tidak mampu mencegah dan menyelesaikan kasus KDRT yang dilaporkan. Tidak jarang korban kekerasan enggan untuk melaporkan mengingat pelaku kekerasan memiliki hubungan dekat dengannya. Selain itu ditengarai bahwa pemerintah telah gagal menerapkan UU no 23/2004 ini karena berbenturan dengan produk kebijakan di tingkat daerah dan nasional yang membatasi ruang gerak, cara berpakaian dan perilaku perempuan sebagaimana yang diungkap dalam situs milik Komnas Perempuan.


Penyebab KDRT Dan Disahkannya UU PKDRT, Mencari Akar Masalah

Aktivis pembela hak-hak perempuan menganggap bahwa terjadinya berbagai macam kekerasan terhadap perempuan dan akar permasalahan yang dihadapi wanita dalam berbagai kasus kekerasan disebabkan oleh adanya dikotomi antara laki-laki dan perempuan. Menurut Eri Seda (dosen FISIP UI), hal ini merupakan pengaruh sistem budaya masyarakat Indonesia yang umumnya patriarkal sehingga melahirkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, serta ketidakadilan gender. Oleh karena itu mereka menginginkan penghapusan patriarki. Menurut mereka masalah perempuan haruslah diselesaikan oleh perempuan karena merekalah yang merasakannya, bukan laki-laki.
Berbagai upaya dan agenda nasional maupun internasional telah ditempuh untuk menyelesaikan masalah tersebut yang dimasukkan ke dalam agenda genderisasi mereka. Pada tahun 1963, Gerakan Global Emansipasi masuk dalam agenda PBB. Tahun 1967, terbentuk Commission on The Status of the Women, yang mulai memperhatikan secara khusus status dan isu-isu perempuan. Selanjutnya PBB menggelar konferensi yang pertama tentang perempuan tahun 1975 yang berlangsung di Mexico City. Tahun ini dicanangkan sebagai Tahun Internasional Perempuan. Isu perempuan pun mulai menapaki panggung perhatian dunia. Pada tahun ini peran perempuan ditekankan pada Women In Development (WID). Titik beratnya adalah bagaimana mengintegrasikan perempuan dalam berbagai bidang pembangunan yang berfokus pada produktivitas kerja perempuan. Ketika program WID dipandang gagal memperbaiki perempuan, digulirkanlah Women And Development (WAD) yang dicetuskan oleh kaum feminis-marxis. Pada tahun 1979 dihasilkan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW). Konferensi PBB tentang perempuan ke II 1980 di Kopenhagen menguatkan isi konvensi ini.
Di Indonesia, CEDAW diratifikasi dalam UU No.7/ 1984, maka lahirlah perubahan dan undang-undang baru yang lebih memihak perempuan seperti UU No 23 th 2002 Perlindungan Anak, UU No 12 th 2006 Kewarganegaraan dan UU No 23 th 2004 PKDRT. Sejak diratifikasinya Konvensi CEDAW, sudah banyak peraturan perundang-undangan yang mengintegrasikan prinsip-prinsip persamaan, keadilan dan kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki dalam sistem hukum. Misalnya UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 12/2003 tentang Pemilu, UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu, sudah dikeluarkan pula Inpres No. 9 tahun 2000 yang menginstruksikan para eksekutif di pusat dan daerah, TNI, dan Kejaksaan Agung untuk melaksanakan pengarusutamaan gender di masing-masing instansi.
Sebenarnya, jika kita melihat dengan pikiran yang lebih jernih, akar permasalahan perempuan ini bukanlah berasal dari budaya patriarki ataupun masalah ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Kesengsaraan yang melanda kaum perempuan, sebenarnya akibat jaring-jaring sistem kapitalis liberalis yang begitu kuat mengikat dan terus mengisap sendi-sendi kehidupan masyarakat. Mengapa demikian?
Karena dalam tahap perkembangan perekonomian di dunia saat ini, telah dicampuradukkan dalam suatu pasar besar di mana kaum perempuan dunia mau tidak mau terseret ke dalamnya. Persoalan seperti eksploitasi tenaga buruh perempuan dalam konteks pembagian kerja internasional baru, pengiriman pekerja migran perempuan, jaringan perdagangan perempuan, perusakan lingkungan dan berbagai persoalan yang melintas batas-batas suatu negeri menjadi suatu berita biasa.
Kebijakan liberalisasi perdagangan sebagai salah satu hasil perkembangan sistem kapitalis liberalis menyebabkan kondisi perempuan semakin tertekan. Kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi yang lebih melayani kepentingan modal internasional dibandingkan hak-hak ekonomi rakyat berujung pada ketidakadilan yang menyebabkan kondisi perempuan Indonesia tetap terbelakang dan miskin. Kondisi ini semakin memarginalkan posisi perempuan terutama di Indonesia. Kebijakan pemerintah yang kurang memihak kepentingan masyarakat ini juga menyebabkan lahirnya praktik ketidakadilan di tengah-tengah masyarakat.
Secara moral, sistem kapitalis liberalis ini juga merongrong kejiwaan masyarakat kita yang identik dengan budaya timur. Sistem ini menafikan nilai-nilai agama dan budaya yang dulu tercermin dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga yang terjadi akhirnya, baik laki-laki, perempuan, anak-anak, bapak-ibu, maupun pemerintah tak memahami peran dan kewajibannya masing-masing. Suami yang kurang memahami agama dan tanggung jawab cenderung menzalimi istri dan keluarganya. Begitu pula istri yang kurang memahami hak dan kewajibannya menyebabkan kehidupan rumah tangga retak. Kasus kekerasan dalam rumah tangga dan poligami pun merebak. Soal krisis akhlak, yang kemudian memunculkan perilaku menyimpang seperti judi, miras, dan selingkuh.
Pada akhirnya, semua ini bukanlah bicara soal kesetaraan gender antara perempuan dengan lelaki. Tidak ada persoalan antara posisi laki-laki dan posisi perempuan, dalam bidang apapun itu. Karena masing-masing sudah punya hak dan tanggung jawab, serta fungsi dan peranan yang harus dijalankan. Kekerasan tidak ada kaitannya dengan masalah jender (perbedaan jenis kelamin), karena pada faktanya kekerasan tidak hanya menimpa kaum perempuan, tetapi juga dapat menimpa kaum laki-laki, baik di dalam ataupun di luar rumah tangga. Pandangan bahwa kekerasan terkait dengan jender adalah pandangan yang sangat keliru karena kekerasan acapkali terjadi akibat ketidak pahaman masyarakat terhadap pola relasi antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga, ketiadaan komunikasi yang terjalin baik dan lancar serta ketidakharmonisan di antara pasangan suami istri maupun anggota keluarga, alasan ekonomi, ketidakmampuan mencari solusi masalah rumah tangga apapun maupun hal lain di luar kelaziman seperti kondisi mabuk karena minuman keras dan narkoba maupun perilaku suka bertindak kekerasan. Intinya kekerasan dalam rumah tangga yang kian hari kian meningkat bukanlah persoalan yang berdiri sendiri. Kekerasan adalah bagian yang tak terpisahkan dengan sistem kapitalis yang saat ini mendominasi dunia. Fakta membuktikan bahwa ideologi kapitalis—yang notabene adalah produk manusia—telah gagal memberikan kehidupan yang aman, tenteram, dan sejahtera bagi kehidupan manusia. Hal ini terjadi karena mereka telah memisahkan kehidupan dari agama.
Isu KDRT yang kini tengah menjadi highlight media ini memang patut dipertanyakan. Ada apa sebenarnya dibalik merebaknya isu tersebut? Sementara isu ini sendiri tidak terpisah dari acuan program-program gender yang tertuang dalam BPFA, CEDAW. MDGs, dan ICPD yang telah menghasilkan berbagai UU yang berpotensi besar menghancurkan nilai-nilai Islam di dalam keluarga, seperti UU PKDRT dimana terdapat pasal-pasal yang langsung menyerang pola tatanan kehidupan keluarga diantaranya ketaatan istri terhadap suami dan kebolehan memukul (ta’dib), penghancuran tatanan masyarakat dengan legalisasi aborsi melalui rancangan Amandemen UU Kesehatan No.23 tahun 1992, legalisasi seks bebas dengan program kondomisasi dengan dalih mencegah HIV AIDS, program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR), kuota 30% perempuan dalam partai politik, parlemen, birokrasi, dsb. Faktor agama yang dianggap menghambat tercapainya KKG karena mendukung stereotip gender diserang untuk dihancurkan. Di antaranya melalui CLD-KHI (Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam) yang digagas oleh Siti Musdah Mulia. Sangat jelas adanya konspirasi penghancuran hukum-hukum Islam di balik CLD-KHI ini hingga Menteri Agama Maftuh Basyuni membatalkan langsung dan melarang penyebarannya. Majelis Ulama Indonesia menyebut CLD-KHI sebagai upaya memanipulasi nash-nash Qur’an. Hal ini dikarenakan di dalam CLD-KHI disebutkan bahwa pernikahan bukan ibadah, perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, poligami haram, boleh nikah beda agama, boleh kawin kontrak, ijab kabul bukan rukun nikah, anak kecil bebas memilih agamanya sendiri, dll.
Senada dengan CLD-KHI, UU PKDRT, UU PA dan UU Kespro, pada tanggal 12-17 februari lalu, Zainah Anwar salah seorang penggagas Sisters in Islam Malaysia bersama aktivis dari 11 negara lainnya menggelar Musawah Framework (MF) di Modern Prince Hotel, Kuala Lumpur-Malaysia, untuk mensosialisasikan ide-ide liberal mereka. Acara ini dihadiri oleh 250 orang dari 47 negara yang terdiri dari ulama dan pemikir muslim, akademisi, aktivis, pembuat kebijakan dan praktisi. Fokus yang dituntut adalah pembaruan hukum Islam dalam keluarga muslim terkait dengan usia menikah, izin perkawinan, wali perkawinan, saksi untuk perkawinan, poligami, nusyuz, perceraian dan kawin mut’ah. MF juga menggagas 3 prinsip tentang kesetaraan dan keadilan dalam keluarga, yaitu:
1. Nilai-nilai Islam yang universal tentang kesetaraan, keadilan, kemuliaan dan tanpa diskriminasi adalah asas hubungan manusia. Dari prinsip ini kemudian mereka menolak perlakuan Islam atas orang yang dipimpin dalam keluarga, hak yang di nomorduakan dalam perkawinan, juga bagian waris perempuan yang lebih sedikit.
2. Kewarganegaraan yang setara dan penuh, termasuk penglibatan sepenuhnya dalam semua aspek kemasyarakatan adalah hak setiap individu.
3. Kesetaraan diantara lelaki dan wanita dalam keluarga harus terwujud.
Dari prinsip-prinsip tersebut kentara bahwa mereka berusaha meminimalisasi peran seorang perempuan sebagai ummun wa robbatul bait, yang merupakan fungsi utama seorang wanita dalam islam, dan mendorong kaum muslimah untuk mengoptimalisasikan perannya di sektor publik sampai mencapai derajat adil 50:50.
Untuk pencapaian 3 prinsip ini MF memobilisasi ulama, cendikiawan dan tokoh masyarakat untuk melancarkan undang-undang dan tindakan yang mengharuskan terwujudnya (1) keluarga sebagai tempat yang aman dan harmoni yang mendukung perkembangan diri semua anggotanya, (2) perkawinan sebagai suatu kesepakatan antara individu yang dianggap setara, berlandaskan perasaan hormat-menghormati, kasih sayang, berkomunikasi dan mempunyai wewenang yang sama dalam membuat keputusan, (3) hak yang sama dalam memilih pasangan hidup atau memilih untuk tidak menikah/kawin, dan memasuki lembaga perkawinan dengan bebas dan penuh rela serta hak yang sama untuk melakukan perceraian dan setelah perceraian tersebut. 4. hak dan tanggungjawab yang rata berkaitan dengan harta, termasuk perolehan, pemilikan penggunaan, pengurusan dan pewarisan, serta perlunya memastikan jaminan keuangan untuk semua ahli keluarga, (5) hak dan tanggungjawab suami istri sama berkaitan dengan anak-anak mereka.
Entah kebetulan atau tidak, kasus Manohara yang kemudian ramai diperbincangkan antara dua negara, Indonesia dan Malaysia bisa jadi akan membuat langkah Musawah semakin terbuka lebar untuk menyusun dan mengesahkan UU PKDRT dan UU Anti Poligami di Malaysia.
Untuk Indonesia, maka kita pun akan melihat benang merahnya, bahwa ada kegelisahan di kalangan aktivis perempuan penganut ide keadilan dan kesetaraan gender, dimana meski Indonesia telah meratifikasi konvensi CEDAW melalui UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, namun ada resistensi dari sebagian kalangan terutama kelompok-kelompok Islam yang masih teguh memegang syari’at Islam terkait hukum-hukum keluarga Islam. Betapa tidak, ratifikasi ini menimbulkan konsekuensi bagi negara, yakni negara wajib menerapkan prinsip-prinsip konvensi tersebut ke dalam hukum nasional dan mencabut peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan yang sifatnya (menurut versi feminis ) mendiskriminasi wanita, baik secara de facto maupun de jure. Negara juga wajib menciptakan suatu kondisi atau keadaan sementara untuk mengakomodir penghormatan terhadap hak-hak asasi wanita di bidang politik, ekonomi, social, budaya dan pendidikan, agar wanita dapat berkembang sama seperti pria di bidang-bidang tersebut. Setelah itu, negara yang meratifikasi konvensi ini juga wajib melaporkan tindakan-tindakan yang bersifat preventif dan proaktif yang telah dilakukan dalam bidang legislatif, yudikatif, dan administratif dalam tingkatan lokal maupun nasional, kepada sekretaris jenderal PBB (komite CEDAW) setiap 4 tahun atau sewaktu-waktu tertentu sesuai permintaan komite CEDAW. Dalam hal ini, kalangan aktivis perempuan memandang penjaminan yang diberikan pemerintah Indonesia belum bisa efektif, sekalipun prinsip-prinsip non-diskriminasi telah diterapkan melalui peraturan-peraturan/legislasi DPR, kebijakan-kebijakan pemerintah, putusan-putusan yudikatif, dan lain-lain karena pada saat yang sama pemerintah dinilai telah gagal dengan membiarkan dan bahkan melanggengkan (melalui kebijakan-kebijakan) pelanggaran HAM perempuan terus terjadi dengan maraknya kemunculan perda-perda tentang keharusan berbusana islami, kesusilaan, pornografi/ pornoaksi, anti maksiat, anti pelacuran dan lain-lain termasuk belum direvisinya UU No 1 th 1974 tentang perkawinan, KUHP dan RUU KUHP, UU Pornografi dan Pornoaksi disamping kegerahan mereka akan meningkatnya ‘gerakan fundamentalis’ di pusat dan daerah serta hambatan dari perempuan sendiri. Sehingga mereka menginginkan (dibaca : ditekan) agar implementasi CEDAW tidak boleh ditunda.
Kedatangan Amina Wadud secara diam-diam ke Indonesia pada 4 Juni 2009 lalu, juga patut dicermati. Kenapa kedatangannya nyaris tanpa publikasi dan sangat kontras dengan gembar-gembor kasus KDRT. Wadud adalah tokoh feminis liberal radikal dan paling kontroversial sepanjang 14 abad menyusul ulahnya mengimami shalat Jumat di sebuah Gereja Katedral di Sundram Tagore Gallery 137 Greene Street, New York pada tahun 2005 lalu. Selanjutnya pada 17/10/08, Wadud kembali menjadi imam dan khatib Jumat di Oxford Centre, Oxford dengan makmum laki-laki dan perempuan bercampur-baur. Shalat Jumat ini adalah aksi pembukaan sebelum memulai Konferensi Islam dan Feminisme yang digelar di Wolfson College, Oxford. Kedatangannya dalam rangka memenuhi undangan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Jakarta untuk memberi kuliah umum bertema "Reading for Gender: Al-Ghazali and the Nature of the Person in Islamic Ethic". Ini bukanlah kedatangannya yang pertama kali, karena beberapa bulan sebelumnya Wadud juga berkunjung ke Jogja. Bisa jadi kunjungan tanpa publikasi ini adalah untuk menghindari penolakan dari sejumlah kalangan seperti yang terjadi pada Nasr Hamid Abu Zaid yang rencana kedatangannya dipublikasikan media massa jauh-jauh hari. Nasr Hamid adalah ilmuwan Mesir yang divonis murtad oleh mahkamah Mesir karena dinilai melecehkan Alquran. Kedatangan Wadud tentunya bukan tanpa alasan, selain menyebarkan ide-ide liberal radikalnya di Indonesia. (Salah satu idenya adalah wanita boleh menjadi imam shalat jum’at campuran pria dan wanita). Tak mengherankan jika aktivitas Wadud ini sangat didukung Amerika dengan cara menyiarkannya ke seluruh dunia. Sudah tentu untuk merusak Islam.
Dapat dikatakan bahwa ‘diblow up-nya’ isu KDRT ini tidak lain adalah upaya kelompok pengusung ide KKG untuk menyerang (kembali) dan melakukan stigmatisasi terhadap hukum-hukum Islam sekaligus meliberalisasi pemahaman masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim mengenai hukum-hukum Islam yang menyangkut keluarga. . Inilah pengakuan dari dari hasil wawancara yang dilakukan pewarta situs Komnas HAM, Diah Irawaty kepada Estoe Rakhmi Fanani (Direktur LBH Apik) tentang Penanganan KDRT “Penting Membangun Perspektif Gender di Kalangan Penegak Hukum” (1 juli 2009). Ternyata mereka melakukan tekanan kepada media untuk gencar mensosialisasikan masalah KDRT ini ke tengah-tengah masyarakat dengan tujuan agar terkuaknya beberapa kasus KDRT di publik menjadi (1) indikasi bahwa KDRT telah menjadi perhatian publik serta meluasnya berita seputar kasus-kasus KDRT bisa berkorelasi terhadap tingkat kesadaran masyarakat untuk turut terlibat dalam upaya penghapusan KDRT. (2) indikasi kalau banyak perempuan yang telah sadar akan hak-haknya dan memahami persoalan KDRT sebagai persoalan perempuan dan bagaimana memutus lingkaran setan KDRT tersebut. Kesediaan dan kemampuan untuk melaporkan kasus adalah kata kunci dari salah satu bentuk kesadaran tersebut. Keengganan dan ketidakmampuan perempuan selama ini untuk melaporkan kasus KDRT yang menimpa dirinya atau keluarganya atas dasar berbagai pandangan stereotipikal menjadi salah satu faktor kuat KDRT menjadi persoalan super serius bagi perempuan. Saat satu, dua, tiga perempuan korban mampu melaporkan kasus KDRT yang dialaminya, perempuan-perempuan lain akan menanggapinya sebagai pelajaran dan pengetahuan baru sehingga mereka bisa melakukan hal serupa. Ini merupakan alat kampanye untuk mendorong publik berani bersuara keras dalam menolak KDRT. (3) indikasi perempuan sudah mulai mempunyai keberanian untuk keluar dari lingkaran KDRT dengan menggugat cerai suami pelaku KDRT sebagai perkembangan yang menggembirakan bagi gerakan perempuan di Indonesia. Meskipun banyak warga Indonesia yang tidak mengetahui UU PKDRT No. 23/2004 sebagai dasar hukum penghapusan KDRT, mereka sedikit banyak mulai tahu tentang isu-isu KDRT dan beberapa di antaranya sudah berani melaporkannya, baik ke ketua RT atau RW, kepala desa/lurah, tokoh masyarakat, tetangga, keluarga dan bahkan melaporkannya ke polisi. Pemberitaan yang cukup ramai di media massa mengenai kasus KDRT akhir-akhir ini akan menjadi momentum bagi elemen gerakan perempuan untuk semakin menguatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai KDRT. (4) media sosialisasi lebih lanjut mengenai keberadaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) hingga ke kelompok masyarakat tingkat bawah karena meski sudah sekitar 5 tahun UU ini disahkan, masih banyak penegak hukum yang belum mengetahui keberadaan dan fungsi UU ini atau minimal UU ini belum maksimal menginsipirasikan upaya lebih komprehensif penanganan KDRT di antara aparat hukum dan pemerintahan.
Ini merupakan langkah-langkah konspirasi sistematis dibalik isu KDRT untuk mencanangkan agenda liberalisasi keluarga-keluarga muslim di Indonesia. Upaya sistematis ini dilakukan melalui jalur struktural dan juga kultural. Secara struktural mereka menggunakan lembaga-lembaga yang bernaung di departemen-departemen pemerintahan sementara jalur kultural mereka tempuh melalui mediasi ormas-ormas dan tokoh-tokoh masyarakat. Hal ini tentunya harus diwaspadai dengan melakukan counter attack ide-ide mereka secara gamblang dan meruntuhkan teori-teori mereka yang menuduh hukum-hukum Islam memicu KDRT. Karena Islam sangat jauh dari yang mereka tuduhkan tersebut.


KDRT DALAM PANDANGAN ISLAM

KDRT dalam pandangan Islam, bisa disebut kejahatan atau bukan ketika bersesuaian dengan konsep Islam dalam memandang kekerasan sebagai kejahatan. Kejahatan atau jarimah adalah perbuatan-perbuatan tercela (qabih) yang ditetapkan oleh hukum syara. Inilah standar penting untuk menilai apakah perbuatan tersebut termasuk kriminalitas atau bukan. Kejahatan bukanlah suatu yang fithri pada diri manusia. Kejahatan bukan pula "profesi" yang diusahakan oleh manusia. Juga bukan penyakit yang menimpa manusia. Kejahatan adalah tindakan melanggar aturan, baik aturan dengan Rabbnya, dirinya, dan dengan manusia lainnya. Dalam Islam Homoseksual atau masokhisme adalah kejahatan, bukan penyakit mental apalagi pembawaan manusia. Oleh karenanya Islam tidak membedakan kekerasan dari sisi obyek atau tempat bila mengacu pada definisi di atas. Berdasarkan Syariat Islam ada beberapa bentuk kekerasan yang bisa menimpa wanita:
1. Qadzaf yakni menuduh wanita baik-baik berzina tanpa bisa memberikan bukti yang bisa diterima oleh syariat Islam. Sanksi hukumnya adalah 80 kali cambukan.
"Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat saksi maka deralah 80 kali"(Q.S An-Nuur: 4-5)
2. Membunuh. Hal ini bisa menimpa wanita atau laki-laki. Dalam hal ini sanksi bagi pelakunya adalah qishas.
Diwajibkan atas kamu qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh"
(QS Al baqarah: 179)
3. Mendatangi wanita pada duburnya hukumnya adalah haram. Sanksi hukum adalah Ta'zir dengan bentuk hukuman yang diserahkan pada pengadilan.
Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah saw bersabda: "Allah tidak akan melihat seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki dan mendatangi istrinya pada duburnya"
4. Bentuk kekerasan lain yang menimpa wanita (termasuk juga laki-laki) adalah penyerangan terhadap anggota tubuh. Siapapun yang melakukannya walaupun oleh suaminya sendiri adalah kewajiban membayar 1diyat/tebusan (100 ekor unta) jika terbunuh. Dan jika organ tubuh yang disakiti maka diyatnya adalah: untuk 1 biji mata ½ diyat (50 ekor unta), setiap jari kaki dan tangan, 10 ekor unta; luka sampai selaput batok kepala, 1/3 diyat; luka dalam, 1/3 diyat; luka sampai ke tulang dan mematahkannya, diyat 15 ekor unta; setiap gigi, 5 ekor unta; luka sampai ke tulang hingga kelihatan, diyat 5 ekor unta.
5. Perbuatan Cabul seperti berusaha melakukan zina dengan perempuan (namun belum sampai melakukannya) dikenakan sanksi penjara 3 tahun, ditambah jilid dan pengusiran.


Adapun ‘kebolehan’ melakukan tindakan ‘kekerasan’ oleh suami kepada istri yang selama ini seringkali dituduhkan oleh kaum feminis terhadap Islam bukanlah tindakan kekerasan yang berkesesuaian maknanya dengan ‘jarimah’ atau kejahatan. Akan tetapi itu merupakan bentuk ta’dib (upaya memberi pendidikan atau pelajaran oleh suami terhadap istri yang melakukan nusyuz’). Karena Islam membolehkan melakukan tindakan kekerasan sebagai ta'dib (mendidik) dalam rumahtangga. Kekerasan yang dimaksud disini bukanlah kekerasan yang dilakukan dengan landasan amarah atau kekerasan yang sampai melukai atau (bahkan) membunuh. Tapi, bentuk kekerasan yang dimaksud adalah bentuk-bentuk tindakan fisik yang dibolehkan oleh syara. Ketika syara tidak membolehkan bahkan mengharamkannya maka itu adalah kejahatan.

“...Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal,” (TQS. An Nisa : 34)
Allah SWT telah menjelaskan keadaan kaum perempuan adakalanya mereka taat dan adakalanya membangkang (nusyuz). Termasuk nusyuz adalah mereka yang menyombongkan diri dan tidak melakukan ketaatan kepada suami. Maka ketika tanda-tanda nusyuz tampak, suami wajib melakukan beberapa langkah dalam upaya meyadarkan dan mengembalikan keadaan istri ke jalan yang benar. Dimulai dengan menasihati, kemudian memisahkan diri dan berpaling dari istri dan langkah ketiga memberikan pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak membekas, dengan tujuan kebaikan. Ibn Abbas memperjelasnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan, tidak mematahkan tulang dan tidak menimbulkan luka. Jika Istri mentaati perintah suami, maka suami dilarang untuk mencari-cari kesalahan istri dan mendzaliminya. Rasulullah adalah teladan kepala rumah tangga dengan para ummahatul mukminin sebagai contoh figure istri, ibu dan pengatur rumahtangga yang baik. Rasulullah hidup di tengah keluarga yang mayoritasnya adalah perempuan. Rasululah tidak pernah melakukan tindak kekerasan terhadap istrinya.
"Sebaik-baik kamu sekalian adalah sebaik-baik perlakuan kamu terhadap istri-istrimu dan saya adalah orang yang terbaik di antara kamu terhadap istri-istriku".
Walhasil, KDRT sebagai kejahatan akan tetap terjadi di bawah payung sistem kapitalis-sekuler. Dan Apapun UU yang dihasilkan selama masih merujuk pada dasar pemikiran berbasis gender, liberal dan sekuler maka persoalan tersebut tidak akan dapat menyentuh akar persoalan, karena sistem kapitalis sekuler tersebutlah akar persoalannya. Dan di bawah payung sistem Islamlah, perempuan dan juga pria terlindungi oleh keluarga, masyarakat dan negara karena sistem ini akan menjaga dan memelihara ketakwaan individu-individu didalamnya disamping adanya langkah preventif ancaman sanksi yang tegas terhadap pelaku tindak kejahatan seperti yang diuraikan di atas.

Doa dan Dzikir Paling Shahih Saat Berbuka Puasa

Oleh: Badrul Tamam Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah, keluarga dan para ...